Perilaku emotional, ragam respon properti

Perilaku emotional, ada reaksi atas suatu tekanan yang ditangkap oleh seseorang kemudian meresponnya sesuai dengan kondisi emosinya. Bagi teman-teman psikologi, itu bukanlah hal baru. Justru dari merekalah kita belajar kenapa ada teori perilaku (behavioral theory). Tidak berhenti di situ, banyak dari mereka justru meyakini bahwa perilaku seseorang sangat ditentukan oleh kondisi emosi kejiwaannya dibandingkan rationalitas. Ada yang mengatakan lebih dari 95% perilaku seseorang itu didekte oleh kondisi jiwa mereka. Dikala kita sedang senang maka akan menerima setiap informasi berbeda dikala sedang tidak senang (contohnya saja sedih). Begitupula dikala berperilaku. Perilaku inipun sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu (1) attitude, (2) subjective norm, dan (3) perceived behavioral control. Ketiganya akan menentukan niat/ intention kemudian baru ke perilaku atau tindakan. Itu dijelaskan di dalam Theory of planned behavior yang kebetulan menjadi bagian dari narasi sebelumnya, gagal-gagal riset PhD (baca di sini). Tidak jadi memasangkan teori ini di dalam trajectory riset.

Ragam respon property atau biasa juga disebut sebagai housing behavior sebenarnya sangat erat dengan narasi di atas, perilaku. Sama halnya dengan mobil yang berjalan di jalan raya. Perilaku mobil ini sangat ditentukan oleh sopirnya yaitu manusia. Perilaku mereka sangat ditentukan oleh 3 hal di atas juga. Dikala sang sopir sudah lihai mengendarai mobil, tentunya akan lebih bagus dibandingkan yang belum menguasai kendaraan. Ada variabel pengalaman, jenis mobil yang dia kendarai dan sebagainya. Itu adalah variabel-variabel yang tentu akan menentukan bagaimana laju sebuah mobil dikontrol di jalan raya. Tidak berbeda dengan properti yang juga “disopiri” oleh seseorang yang juga memiliki perilaku yang disebabkan oleh berbagai faktor. Place attachment, social identity dan tentu masih banyak lagi teori-teori yang melandasinya. Termasuk yang tidak pernah tertinggal adalah rational economic choices. Pertimbangan ekonomi dengan memikirkan untung dan juga rugi atas sebuah keputusan.

Perilaku itu sepertinya tercermin di kala mereka melakukan tindakan adaptasi di pesisir. Saya ambil contoh adalah hasil penelitannya Pak Marfai (baca di sini) dan yang terbaru adalah Bott (baca di sini), perilaku adaptasi dengan cara meninggikan rumah dan lantai rumah sangat bergantung pada kemampuan ekonomi. Di kondisi mereka mampu secara ekonomi maka yang bisa mereka lakukan adalah (a) meninggikan rumah atau lantai rumah; atau (b) justru berpindah untuk mengurangi biaya adaptasi. Ketinggian rumah yang beragam itu merupakan bagaimana perilaku adaptasi sangat ditentukan kondisi ekonomi. Itu mungkin salah satu narasi saja bagaimana rational economic choices menjelaskan adaptasi. Namun dibalik itu, ternyata ada faktor emosional.

Dikala ada rasa takut (fear) entah yang disebabkan oleh banjir, kriminalitas dan faktor negatif lainnya, itu akan mempengaruhi nilai ekonomi. Lebih tepatnya nilai pasar. Ada sentimen pasar yang kemudian direfleksikan oleh harga suatu barang. Nilai properti, salah satunya. Di teori yang sama dijelaskan bahwa seseorang akan menginternalisasi risiko kedalam keputusan mereka membeli suatu properti. Internalisasi risiko ini yang kemudian akan mempengaruhi nilai spekulasi dan pada akhirnya akan mempengaruhi nilai pasar. Ada penurunan harga di daerah zona banjir, itu hanya contoh saja bagaimana proses internalisasi itu terjadi dan pada akhirnya menurunkan nilai. Dan yang mungkin perlu dicatat adalah bahwa rasa takut yang diinternalisasi itu terkadang melebihi dari besar/ tingkatan bahaya. Sama halnya dikala seseorang mengatakan: Kamu itu tidak kompeten untuk pekerjaan ini. Kemudian kita hanya terdiam, dan berusaha membuktikan bahwa statement itu tidaklah tepat. Kita bereaksi atas statement itu, yang mungkin saja hingga beberapa tahun. Ilustrasi itu menandakan adanya informasi yang ditangkap kemudian diinterpretasi dan kemudian kita bertindak/ berperilaku.

Informasi adalah kunci bagaimana kita bertindak rasional termasuk bagaimana mengalokasikan rupiah, salah satunya membeli properti. Reaksi atas informasi yang salah (bisa disinformation atau bisa juga information bias) akan terefleksi oleh keputusan mereka membeli properti. Nah, sekarang yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah membeli barang properti itu memiliki konsekuensi spatial, karena dia memiliki atribut lokasi. Dan perilaku properti itu tercermin oleh pemilihan lokasi rumah juga. Al hasil, rasa takut yang terinternaliasi dalam pembelian rumah akan tercermin juga oleh pemilihan lokasi dan bukan hanya harga. Dan itu sebenarnya penjelasan sederhana mengenai model kotanya Hoyt (1939) yang sangat popular di anak-anak planologi sebagai model kota sektoral. Filtering theory menjadi landasan Hoyt berargumen atasnya.

Advertisement