Banjir: memberikan hak menggenang atau menghalaunya?

Banjir jawa. Sepertinya dokumentasi tertua yang mencatatnya adalah The history of java karya Thomas Stamford Raffles tahun 1817. Rival utama Belanda di negeri kita, waktu itu. Saling berebut rempah dan pengaruh. Selain menceritakan tentang pulau jawa mulai dari penduduk hingga bentuk bentangan alam, buku ini juga menggambarkan bagaimana bencana banjir, disebutnya sebagai java flood. Dan, memang sudah lama banjir itu terjadi, bahkan sebelum buku itu diterbitkan. Banjir sendiri merupakan salah satu bencana global, artinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Berbagai negara juga mengalami, seperti Belanda, Jerman, Inggris hingga Amerika. Kerugian yang diakibatkan juga terus meningkat seiring dengan jumlah kejadiannya. Itu memaksa kita untuk berbenah, bahasa kerennya adalah adaptasi. Bentuk adaptasi tertua yang tercatat adalah terps di Belanda. Berupa gundukan tanah, kemudian di atasnya berdirilah bangunan. Tujuannya agar rumah tetap kering, dan hanya membiarkan air meluap hingga halaman. Cara itu cukup efektif di masanya.

Gundukan tanah/ terps untuk gereja

Kemudian, sepertinya strategi itu dinilai kurang efektif setelah bencana hidro-meteorologi semakin sering dan semakin meluas. Untuk areal permukiman besar, rasanya tidak mungkin untuk menaikkan bangunan dengan membuat gundukan/ terps tadi. Lebih mahal, dan tentu bakal mengubah struktur bangunan hingga landscape kota. Jadi, solusi yang muncul adalah membuat bendungan dan tanggul. Bangun pembatas antara tanah kering dan tanah basah. Bahasa Inggrisnya adalah dam (bendungan), dyke dan levee, (tanggul) namun fungsinya berbeda. Dyke diperuntukkan untuk mempertahankan daerah kering dari banjir. Sedangkan levee untuk menahan air di daerah perairan. Dan itulah yang dilakukan oleh Belanda pada tahun 700-an (awal mulanya) di desa Frisian dengan tinggi tidak lebih dari 70 cm. Kemudian dilanjutkan ke daerah-daerah lain di Belanda hingga sekarang diakui sebagai tanggul banjir berstandar internasional. Di masa ini, strategi yang popular adalah menghalau air agar tidak menggenang. Istilah yang sering banget ditemukan di literatur adalah ‘keeping water away from land’ dan ‘defending against floods’. Para insinyur sipil (hidrologi) lebih menekankan pada instrument rekayasa dengan lebih menitikberatkan pada ‘rekayasa air’. Membendungnya agar tidak meluap dan menggenangi permukiman. Kota-kota di Belanda yang berakiran -DAM, sebenarnya adalah kota-kota yang dilindungi oleh bendungan. Contohnya adalah Amsterdam dan Roterdam.

Apakah tanggul itu bekerja dengan baik? Sama dengan terps, bekerja dengan baik pada waktunya. Namun sejak tahun 1980-an, dimana perubahan iklim semakin terasa yang ditandai oleh semakin sering dan meluasnya banjir maka itu dinilai kurang efektif lagi. Karena tujuan utamanya bukanlah memastikan tanah tetap kering, melainkan mempertahankan asset yang sudah lama diinvestasikan di perkotaan melalui pembangunan maka manajemen risiko banjir akhirnya ikut beradaptasi. Belanda dan Inggris menyadari itu. Flood Early warning system pertama kali dibuat di Inggris agar masyarakat bisa mengevakuasi diri dikala banjir. Itupun tidak cukup. Mereka mulai menyadari peran penting tata ruang.

Ada dua program yang cukup terkenal di dunia yaitu room for river (di Belanda) dan space for water (di Inggris). Keduanya mirip yaitu memberikan ruang untuk air. Prinsipnya adalah: menyediakan ruang kosong untuk genangan air. Ruang kosong, yang jika termanfaatkanpun biasanya untuk pertanian, merupakan hamparan luas ratusan hektar tanpa bangunan. Tanggul tetap dibangun untuk menghalau air masuk ke lingkungan permukiman & kota, dan mempersilahkan limpasan banjir untuk ikut memiliki ruang. Selain itu, embung-embung kecil dengan ukuran tidak lebih dari 10.000 m2 juga banyak ditemukan di areal-areal perkotaan yang berfungsi untuk menampung air hujan dan meresapkan, tanpa mengalirkannya ke sungai hingga pada level tertentu. Peran tata ruang yaitu menyediakan ruang kosong untuk banjir inilah yang kemudian sering disebut sebagai spatial adaptation.

Perencanaan berdasarkan regulasi vs pasar properti

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana merencanakan tata ruang sebagai instrumen adaptasi. Pertanyaan kedua yang perlu dijawab adalah: apakah penggunaan lahan (land use) merupakan benar-benar hasil dari rencana tata ruang (RTRW/RDTRK)? Kenyataannya penggunakan lahan perkotaan merupakan hasil irisan antara perencanaaan berdasarkan regulasi (planning by law) dan hak properti (property right). Bahkan bisa juga diinterpretasikan bahwa pembangunan kota merupakan hasil dari hubungan saling mempengaruhi antara ketersediaan lahan, perencanaan (termasuk tata ruang) dan pasar properti. Rencana tata ruang sangat jelas, dia diatur oleh peraturan perundang-undangan sehingga tidak heran jika disebut sebagai planning by law. Sifatnya sangat jelas dan tegas hingga ploting rencana penggunaan ruang. Dikala melanggar rencana tata ruang maka sebenarnya melanggar hukum. Karena sifatnya yang tegas dan berjangka waktu lama (20 tahun) maka sering mengalami apa yang disebut dengan lock in situation. Kurang fleksibel merespon pertumbuhan permukiman di perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang setiap 5 tahun sekali, itu merupakan salah satu contoh bentuk dari kurang fleksibelnya dokumen ini. Meski begitu, itu bukanlah indikasi bahwa rencana tata ruang yang diatur regulasi tidak efektif atau tidak berguna. Tetap saja berguna karena ada jaminan hukum yang mengaturnya.

Hal kedua yang juga harus diperhatikan adalah hak property atau property right. Keputusan penggunaan lahan tidak terlepas dari siapa pemilik dan inisiatif untuk menggunakannya yaitu pemilik lahan. Biasanya, mereka mengikuti mekanisme pasar. Dikala mereka memiliki tanah yang berdekatan dengan zona-zona ekonomi, maka hampir dipastikan mereka akan mengikuti itu. Sama halnya dikala ingin membeli rumah. Faktor ekonomi biasanya menjadi bahan pertimbangan utama. Prinsipnya adalah mencari lokasi yang mampu meningkatkan utilitas lokasi dalam keterbatasan anggaran rumah tangga. Ilustrasi paling gampang adalah mencari lokasi rumah yang dekat dengan tempat kerja, dekat dengan sekolah, pasar, dan taman. Itu disebut dengan upaya meningkatkan utilitas lokasi atau sering juga disebut sebagai kualitas lokasi. Inisiatif pemilik tanah atas properti mereka inilah yang kemudian diistilahkan sebagai hak properti/ property right. Dan, secara langsung inisiatif pemilik ini juga akan membentuk penggunaan lahan.

Dua dasar penggunaan lahan itu (planning by law dan property right) pada akhirnya akan menentukan apakah rencana tata ruang cukup efektif ataukah perlu penyesuaian. Mensinkronisasi penggunaan lahan, plannig by law dan property right, adalah tantangan selanjutnya agar sebuah rencana tata ruang benar-benar sesuai dengan tujuan pembangunan termasuk sebagai instrumen manajemen risiko banjir.

Bagi rencana tata ruang yang diatur oleh regulasi, bukan perkara sulit untuk mengidentifikasi daerah mana yang beresiko tinggi kemudian melarang pembangunan di lokasi beresiko itu. Namun kenyataannya, pembangunan yang dipengaruhi oleh pasar memiliki inisiatif berbeda. Itulah kenapa property right perlu dipertimbangkan sebagai pelengkap rencana tata ruang yang bersifat pasif. Active planning policy mungkin bisa dipertimbangkan untuk mengarahkan pembangunan rumah agar menjauhi lokasi banjir dan membangunnya di lokasi yang aman berdasarkan mekanisme pasar. Dan pada akhirnya memberikan ruang khusus untuk air. Membiarkan mereka meluap, menggenang dan memberikan hak kepada alam untuk menampung, meresapkan, kemudian hidup berdampingan dengan alam. Dengan satu catatan biar mereka menggenang pada lokasi tidak terbangun.

Advertisement